Tresno - Makaryo - Guyub )|( Ngajewantahaken Indonesia Ingkang Adil lan Sejahtera

Saturday, August 14, 2010

Jejak Penangsang van Jipang

Jipang adalah tanah kelahiranku, di desa yang terletak +-8km arah selatan kota Cepu inilah pertama kali saya menghirup udara dunia, di dukuh Judan desa Jipang pula saya mulai belajar mengenal huruf latin di SD Negeri Jipang II yang penuh dengan kenangan bak laskar pelangi di saat masih kecil dulu. Bapak & ibu Guru saya merindukan panjenegan semua, terlebih pada ibu Susanti wali kelasku saat kelas 6, Ibu Djumirah Kepsek SD Negeri Jipang II, Ibu Djumiatai guru Agamaku saat di SD dulu, Pak Wasi guru Idolaku saat kelas 1 dengan sabar beliu mengajari kitamenulis & berhitung untuk menaklukkan dunia ini.

Langgar Sabilil Muttaqien dukuh Judan desa Jipang adalah tempat bersejarah yang sangat penting untukku di mushola inilah untuk pertama kalinya saya mengenal huruf Hijaiyah, mengenal ilmu Tad’wid, mengenal ilmu Fiqih, mengenal kitab Tanbiyatul muta’alim, mengenal tata cara Sholat, zakat & puasa. Banyak kenangan manis yang tak mungkin terlupakan, Sobat masih ingatkah engkau setiap bulan Ramadhan kita selalu tidur di mushola ini, kita sholat tarawih, tadarus dan sahur pun bersama – sama, setelah sholat subuh kita langsung bermain "obak Sodor" di Nggisik (pantai) pinggir Bengawan Solo,
Saat sekarang saya berada di perantauan & jauh darimu saya sangat merindukan kamu, Jipang apa kabarmu? Semoga masyarakatmu sudah berubah & bisa terangkat ekonominya, SDM nya bisa terasah & semoga tidak miskin lagi, ingat Sobat kita punya sejarah besar di desa Jipang ini dengan Aryo Penangsang sebagai Adipati nenek moyang kita yang terkenal dengan tunggangan kudanya nan gagah berani Gagak Rimang.
Walaupun sebagian orang mengatakan bahwa Aryo Penangsang adalah pemberontak tetapi Aryo Penangsang adalah si pemberontak legendaris bagi kami warga jipang yang tersebar di seantero Indonesia.

Berdasar catatanku Aryo Penangsang berkuasa sebagai Adipati Jipang yang wilayahnya meliputi sekitar Blora dan Bojonegoro. Padi terhampar luas, tanahnya subur seperti dalam lirik lagu Darah Juang, ” Negeri kami subur Tuhan”.
Tidak jauh dari tepian Bengawan Sore di desa Jipang ada reruntuhan istana kadipaten Jipang. Nyaris tak terlihat, tapi disini memang ada kehidupan, waktu zaman dulu ketika darah tertentu saja yang jadi pemimpin. Istana itu diruntuhkan tanpa bekas oleh penguasa asing lalim lantaran penguasa lokal Jipang tidak mau bekerjasama dengan penguasa lalim tadi.
Desa Jipang? Ya, Jipang bukan lagi sebuah kadipaten seperti zaman Aryo Penangsang, Jipang kini hanya nama desa tempat saya tumbuh dan dibesarkan. Jipang kini hanya bagian dari distrik Cepu kabupaten Blora, Sebagian warga Jipang berusaha menjaga komplek makam umum “GEDONG AGENG” dimana beberapa petingi Jipang bersemayam di pemakaman desa itu.

Siapa Aryo Penangsang? Kita akan menemukan Aria Penangsang di buku-buku teks sejarah sekolah yang isinya seperti cerita sintron yang klise.
Dimana selalu ada tokoh antogonis yang harus dimusuhi oleh para penontonnya. Antagonis, begitulah Aryo Penangsang diposisikan sebagai tokoh antagonis yang dilaknat sejarah karena berontak pada Kerajaan Demak, yang dianggap penting oleh orang-orang Islam Jawa.
Demak dianggap mulia, begitupun penguasanya yang mungkin juga sepenuhnya dianggap alim seperti tokoh protogonis dalam sinetron. Rasanya tidak adil jika kita beranggapan seperti itu. Aria Penangsang pun bukan orang yang sepenuhnya jahat.
Aryo Penangsang merupakan murid kesayangan dari Sunan Kudus salah satu Wali Songo penyebar dakwah Islam di tanah jawa, yang berda'wah diwilayah pesisir pantai utara jawa, dalam berdakwah Sunan Kudus ini tidak mau memperadukkan budaya Jawa dengan Islam berbeda dengan Sunan Kali jogo yang lebih kompromistis dengan budaya Jawa dalam berda'wahnya itulah yang membuat masyarakat jawa masih sering mencampuradukkan antara Ibadah dengan budaya kejawen.

Mengapa Aryo Penangsang berontak?
Rasanya ini yang harus diketahui, Dalam Ingatan saya di pelajaran sejarah saat kelas 2 di SMP Negeri 4 Cepu dulu yang di ajarkan oleh guru sejarahku yang cukup killer Pak Anton Suwarno bahwa Raden Fattah punya 3 anak: Adipati Unus, Seda Lepen dan Trenggana.
Setelah Raden Fattah wafat maka Adipati Unus berkuasa. Ketika Adipati Unus yang terkenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor gugur saat pertempuran ekpansi perluasan wilayah di Sumatera/ Malaka, Pati Unus wafat dan tidak mempunyai anak laki - laki, Trenggana lalu naik tahta. Seharusnya, Seda Lepen ayah Aryo Penangsang lah yang lebih berhak awalnya berdasar urutan kelahiran dari putra-putra Raden Fattah.
Awal bekuasanya Trenggana, tidak ada perlawanan keras dari pihak Seda Lepen. Setelah kematian Trenggana, tahta pun harus berganti pemilik.

Pertumpahan darah dimulai. Seda Lepen orang yang seharusnya menjadi raja Demak pun dibunuh sepulang dari shalat Jum’at atas kemauan Prawata, putra Trenggana yanga nampak ambisus.
Kematian Seda Lepen, tentu saja membakar amarah Aryo Penangsang. Dimana Aryo Penangsang menuntut balas pada saudara sepupunya yang kejam pada ayahnya hanya karena tahta. Selain menuntut balas kematian ayahnya, Penangsang juga menuntut tahta Demak. Aryo Penangsang pun berontak pada Demak. Akhirnya, Prawata terbunuh juga oleh orang suruhan Penangsang. Begitu juga Pangeran Hadiri, suami Kalinyamat putri dari Trenggana. ”Pembalasan memang lebih kejam” bukanlah sebuah omong kosong.
Singkat kata, Demak pun terpecah. Ada Pajang, yang dikuasai Jaka Tingkir yang licin dan Jipang yang dikuasai Penangsang sendiri. Semua bersaing demi bekas tahta Demak yang hancur. Dua penguasa itu bunuh-bunuhan, hingga muncul satu pemenang.
Beruntung saja, Jaka Tingkir punya sekutu macam Ki Ageng Pemanahan beserta kawan dan pengikutnya. Dimana Aryo Penangsang yang mudah panas hati terpancing untuk bertarung melawan pengikut Ki Ageng Pemanahan. Dalam sebuah pertarungan tidak seimbang, Aryo Penangsang yang dikeroyok, berhasil dilukai oleh Sutawijaya Penembahan Senapati yang kelak mendirikan dinasti penguasa Mataram Islam dengan tombak keramat Ki Plered-nya.
Pelan-pelan Aryo Penangsang pun meninggal. Jipang pun meredup dari Sejarah Jawa, meski berusaha menentang penguasa asing termasuk VOC atau Hindia Belanda. Hingga Jipang hanya menjadi nama desa. Ini adalah resiko dari tidak mau berkompromi dengan penguasa yang lebih kuat.
Ini bukan kebodohan, melainkan keberanian yang layak diapresiasi. Aria Penangsang layak menjadi tokoh Cepu atau Blora, dalam sejarah tidak ada pahlawan atau pengkhianat seperti politisasi yang dimau oleh penguasa melainkan pengukir sejarah saja.

Salam,
Sukirno cah Jipang Cepu

6 comments :

Unknown said...

Jika kekuasaan diperoleh dengan pertumpahan darah, pemerintahannya juga akan berjalan dengan cucuran darah.

Unknown said...

Betul sekali mas Agus, maka dari itu kita harus belajar dari sejarang bangsa ini, semoga untuk kedepannya di negeri ini saat terjadi pergantian pucuk pimpinan akan berlangsung dengan damai.

sekar said...

Dari semua artikel,buku,ataupun literatur lain yang mengupas tentang sosok Aryo Penangsang, penulis lebih cenderung menampilkannya dalam bentuk antagonis... Sejujurnya ini semakin jadi pertanyakkan buat saya, kalaulah memang Aryo Penangsang ini besar, Kenapa jejak keturunannya tidak diketahui??? Hidup ada hitam dan putih, tapi tak selamanya yang tampak hitam itu hitam dan yang tampak putih itu putih...

sekar said...

Dari semua artikel,buku,ataupun literatur lain yang mengupas tentang sosok Aryo Penangsang, penulis lebih cenderung menampilkannya dalam bentuk antagonis... Sejujurnya ini semakin jadi pertanyakkan buat saya, kalaulah memang Aryo Penangsang ini besar, Kenapa jejak keturunannya tidak diketahui??? Hidup ada hitam dan putih, tapi tak selamanya yang tampak hitam itu hitam dan yang tampak putih itu putih...

unik said...
This comment has been removed by the author.
Choirul Fata said...

Memang sangat disayangkan, tidak banyak literatur yang menuliskan sosok aryo jipang.
Kalolah ada biasanya aryo jipang lebih digambarkan sebagai sosok yang kejam/antagonis.
Namun sedikit sekali yang menyoroti bahwa Aryo Jipang ini adalah sosok terpelajar dari kalangan santri, sementara mas Karebet adalah sosok abangan (lebih mengarah pada klenik)