Oleh: Lhinblue Alfayruz
dakwatuna.com –
Bismillahirrahmanirrahim…
Ada banyak cerita
yang aku dapatkan tentang proses ta’aruf selama ini. Dari sekian banyak cerita,
ternyata ada yang sungguh dramatis dan tragis. Seperti apakah ceritanya?
Seperti judul di
atas, cerita ta’aruf yang akan diangkat di sini tentang pilihan sendiri atau
pilihan murabbi. Ada yang pernah bilang: “Salah ga sih kalo ada ikhwan yang
sudah punya pilihan sendiri kemudian mengajukan sebuah nama kepada murabbinya?”
Tentu hal ini tak
salah dan tak melanggar syar’i. Ketika memang sudah ada kecenderungan dengan
seorang akhwat dan memang sudah siap nikah, maka keberanian mengajukan sebuah
nama kepada seorang murabbi bukanlah hal yang tak syar’i. Banyak yang bilang
bahwa ketika sudah menunjuk sebuah nama, apalagi misalnya satu organisasi,
sering berinteraksi selama ini, khawatir bahwa sudah terkotori dengan hal-hal
yang tak suci. Itu semua hanya kekhawatiran yang seharusnya diikhtiarkan dengan
menjaga prosesnya.
Apakah proses ta’aruf
itu hanya dengan orang yang belum dikenal sama sekali? Ingatkah kita kisah
Fatimah dan Ali? Mereka berdua adalah sepupu, sudah saling kenal. Ali mencintai
Fatimah karena akhlaq Fatimah yang begitu mulia ketika ia lihat dalam
kesehariannya. Begitu pun Fatimah yang ternyata telah mencintai Ali sebelum
menikah dengan Ali. Ingatkah pula kita kisah Salman Al Farisi yang berkehendak
meminang seorang wanita dengan bantuan Abu Darda? Bukankah Salman memang telah
ada kecenderungan terlebih dahulu pada wanita itu hingga akhirnya meminta Abu
Darda meminangkan wanita itu untuk Salman? Namun memang pada akhirnya, Salman
tak berjodoh dengan wanita itu karena wanita itu menginginkan Abu Darda sebagai
suaminya.
Jadi, memang tak
salah jika seorang ikhwan sudah memiliki kecenderungan terlebih dulu terhadap
seorang akhwat dan berani mengajukan nama kepada murabbinya. Nah kadang yang
jadi masalah itu adalah bagaimana mengkomunikasikan hal ini kepada murabbi.
Yuk, simak dua kisah
berikut ini.
Ada seorang ikhwan
yang sudah memiliki kecenderungan dengan seorang akhwat satu organisasi. Ia pun
siap menikah. Namun, dalam prosesnya, ia tak meminta sang murabbi sebagai
fasilitatornya, melainkan meminta sang kawan yang menjadi fasilitatornya. Hal
ini ia lakukan karena sang murabbi sudah punya proyeksi akhwat untuk ikhwan
ini, yang tak lain tak bukan adalah adik sang murabbi sendiri, ada rasa tak
enak mungkin. Sebenarnya tak masalah jika murabbi bukan sebagai fasilitator
proses ta’aruf, asal dikomunikasikan dari awal. Entah mungkin merasa tak enak
dengan sang murabbi, akhirnya ikhwan itu berproses dengan akhwat tersebut lewat
jalur ‘swasta’, yang ternyata akhwat ini pun punya kecenderungan yang sama,
yang lagi-lagi juga sama, tak mengkomunikasikan dengan murabbinya. Hingga
akhirnya menjelang menikah, barulah mereka berdua bilang ke murabbinya.
Lantas bagaimana
tanggapan sang murabbi? Murabbi sang ikhwan bilang: “Antum cari aja murabbi
lain…”.Jleb. Dalem euy, hingga akhirnya sang ikhwan ‘kabur’ dari lingkaran.
Begitu pun dengan sang akhwat, ternyata keluar juga dari lingkarannya. Dan
mereka menikah. Namun amat disayangkan karena ternyata pernikahan mereka tak
sesuai yang diharapkan. Ikhwan yang di mata sang akhwat begitu dewasa ketika
dalam organisasi, ternyata begitu kekanakan dalam rumah tangga. Dan sang akhwat
ingin segera bercerai walaupun sudah dikaruniai seorang anak. Huuffh… apakah
ini sebuah pernikahan yang tak diridhoi murabbi?
Kisah kedua lain lagi
ceritanya. Jika cerita pertama terkesan tak menghargai murabbinya, maka cerita
kedua kebalikannya. Ada seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sudah punya
kecenderungan dengan akhwat yang sudah dikenalnya. Namun kemudian sang murabbi
menawarkan akhwat lain untuk berproses dengannya. Karena sang ikhwan begitu
tsiqah dengan murabbinya terkait masalah jodohnya ini, maka ia pun menerima
tawaran sang murabbi untuk berta’aruf dengan akhwat pilihan murabbi yang belum
ia kenal sebelumnya.
Proses pun lancar
hingga akhirnya diputuskan tanggal pernikahan. Namun apa yang dilakukan sang
ikhwan sepekan menjelang pernikahannya? Ia mengirim email kepada akhwat yang
dicenderunginya itu, mengatakan bahwa ia siap membatalkan pernikahannya jika
sang akhwat meminta untuk membatalkannya. Lantas apa reaksi sang akhwat? Akhwat
itu hanya bilang: “jangan bodoh Antum, seminggu lagi Antum udah mau nikah,
undangan udah disebar, apa ga malu nanti keluarga besar Antum?”
Dan akhirnya ikhwan
itu tetap menikah dengan akhwat pilihan murabbinya. Qadarullah, setelah
beberapa minggu menikah, sang istri rupanya melihat email yang dikirim sang
ikhwan ke seorang akhwat yang dicenderungi sang ikhwan. Kaget luar biasa
tentunya dan akhirnya sang istri menemui akhwat tersebut dan bilang: “kenapa
mba ga bilang kalo ikhwan itu udah ada kecenderungan dengan mba dan begitu pun
dengan mba udah ada kecenderungan dengan dia. Kalo saya tahu, saya akan
membatalkan pernikahan saya, mba…”. Dan entahlah bagaimana kisah selanjutnya.
Ya. Itu dua kisah
yang amat dramatis dan tragis tentang sebuah proses ta’aruf menuju jenjang
pernikahan. Yang satu punya pilihan sendiri dan mengikuti pilihannya sendiri
tanpa mengkomunikasikannya dengan sang murabbi sedangkan yang satunya lagi
memilih pilihan murabbi walaupun sudah punya pilihan sendiri, dan lagi-lagi tak
mengkomunikasikan tentang pilihan sendirinya ini kepada sang murabbi.
Jika dilihat dua
kasus di atas, apa sebenarnya yang menjadi kunci dari masalah ini?
K-O-M-U-N-I-K-A-S-I. Ya, komunikasi antara sang ikhwan dan murabbi yang
bermasalah. Padahal jika saja hal-hal dalam penjemputan jodoh dikomunikasikan
dengan baik kepada sang murabbi, maka tak akan terjadi kisah tragis dan
dramatis seperti di atas. Namun karena kisah ini sudah terjadi, maka semoga
menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin sedang berikhtiar kearah sana.
Hilangkan rasa
sungkan untuk mengkomunikasikan kepada murabbi jika memang sudah punya pilihan
sendiri. Begitu pun dengan seorang Murabbi, alangkah lebih baik menanyakan
terlebih dulu kepada binaannya apakah sang binaan sudah mempunyai pilihan atau
belum, karena mungkin ada yang sungkan untuk mengatakannya pada Murabbi.
Bagaimanapun seorang murabbi adalah orangtua kita, yang tau banyak tentang
kita, sudah selayaknya kita pun menghargainya, setidaknya berdiskusi dengan
murabbi untuk setiap pilihan kita, tentunya berdiskusi pula dengan orangtua
kandung kita. Intinya, sama-sama dikomunikasikan kepada orangtua maupun
murabbi. Entah jika memang sudah punya pilihan sendiri atau pilihan murabbi.
Semoga kedua kisah di atas tak menimpa kita. Aamiin.
Tulisan ini dibuat
hanya untuk mengingatkan kita tentang proses ta’aruf yang menjadi gerbang awal
sebuah pernikahan, sudah selayaknya proses ta’aruf itu terjaga dari segala
bentuk ketidaksucian niat, ikhtiar dan tawakal. Hati-hati juga jika kemudian
timbul bisikan-bisikan setan akibat berlama-lama dalam menyegerakan jika memang
sudah siap menikah dan sudah punya pilihan sendiri ataupun murabbi.
No comments :
Post a Comment