Di beranda rumah bilik bambu, seorang pemuda berdiri dan menyandarkan lengannya di tiang kayu penyangga rumah bilik bambu itu. Terlihat wajahnya memancarkan cahaya kesedihan. Hingga nyanyian alam pun tak mampu menghibur pemuda itu. Surat yang ia terima sebelum guyur hujan membasahi ranting-ranting kering telah merubah keteduhan wajahnya menjadi kemuraman.
Pagi itu matahari memancarkan sinar kehangatan karena rasa patuhnya kepada Sang Pencipta. Kehangatan matahari pagi mengiringi langkah kaki seorang gadis yang sedang berjalan di antara pemandangan sawah yang terhampar luas. Hembus semilir angin meniup wajah cantiknya, seakan ingin menyapa. Hamparan sawah melambai kepadanya, seakan hendak berkenalan dengan gadis bermata jelita itu. Terlihat beberapa petani sudah mulai bergelut dengan sawah mereka masing-masing. Keharmonisan hidup antar sesama makhluk masih terlihat jelas di Desa Kedung. Alam dan manusia.
Gadis bermata jelita itu baru pertama kali menginjakkan kakinya di Desa Kedung. Desa itu terasa asing baginya untuk sekedar mencari rumah Rashid. Dia pun mencoba mencari informasi di mana rumah Rashid kepada seorang petani yang sedang duduk di sebuah gubuk.
“Assalamu’alaikum, Pak.” Salam gadis itu kepada seorang petani yang duduk di sebuah gubuk.
“Wa’alaikumussalam” Jawab petani itu.
“Maaf Pak, boleh saya numpang bertanya?”
“Oh iya silahkan. Mau tanya apa, nak?” Jawab ramah petani itu.
“Hmm.. Bapak tahu rumah Rashid? Nama lengkapnya Muhammad Rashid.”
“Muhammad Rashid?” Petani itu mengerutkan dahi.
“Dia baru pindahan dari kota, pak. Kalau saya tidak salah dia pindah kesini sebulan yang lalu. Bapak tahu? Ujar gadis itu.
“Waduh, saya tidak tahu nak. Apalagi dia orang baru di sini.”
“Oh. Mungkin teman saya itu tahu” petani itu menunjuk ke arah temannya yang sedang menyiangi sawah.
“Din..Udin. Kemari!” Teriak petani itu memanggil temannya yang sedang menyiangi sawah.
Tak lama kemudian, teman petani itu sudah berdiri di hadapan gadis bermata jelita itu.
“Begini Din. Mbak ini mau tanya rumah Rashid, apakah kamu tahu?” Tanya petani itu kepada temannya.
“Iya, Pak. Saya mau tanya rumah Rashid. Dia baru pindahan dari kota.” Sambung gadis itu.
“Ohh.. Rashid yang baru pindahan dari kota itu ya. Iya saya tahu. Ayo, biar saya antar langsung kerumahnya saja mbak.” Jawab teman petani itu.
Gadis bermata jelita itu tampak begitu anggun dengan kerudung merah yang membalut kulit putihnya. Langkahnya begitu tegap ketika kedua kakinya mengayun membelah luasnya hamparan sawah. Tiba-tiba lagkah kakinya terhenti setelah sepasang mata jelitanya melihat sebuah rumah bilik bambu yang ditunjuk oleh seseorang yang mengantarkannya tadi.
“Nah. Itu rumahnya, mbak.” Ujar seorang yang mengantar gadis itu.
“Yang ada pohon jambunya itu, pak?”
“Iya benar. Di situ rumah Rashid, mbak. Maaf, saya cuma bisa mengantar sampai di sini.”
“Oh iya tak apa, Pak. Maaf sudah banyak merepotkan bapak.”
“Ah, tidak mbak. Kalau begitu, saya kembali ke sawah dulu ya mbak.”
“Iya. Terima kasih, pak.” Jawab Aisyah dengan senyum tulus.
Gadis itu masih berdiri terpaku dalam kebisuan ketika matanya mengarahkan pandangannya tepat di rumah bilik bambu itu. Pohon jambu yang berdiri kokoh di depan rumah bilik bambu turut membisu seakan telah mendengar bisik hati gadis berwajah bersih itu. Koloni semut merambat membangun istana di antara dahan-dahan pohon. Ikhlas penuh kecintaan. Tidak ada kebencian untuk berbagi nikmat yang telah Allah taburkan.
Sungguh, gadis itu tak kuasa untuk menahan pergerakan nurani yang berusaha menuntunnya hingga bertemu dengan pria yang pernah meneteskan embun-embun cinta dalam hatinya. Tapi, ini bukan perkara yang mudah untuk ikhlas mengikuti nuraninya. Karena bukan kabar gembira yang ingin ia sampaikan kepada pria itu.
Sejurus kemudian, gadis berparas cantik itu melangkahkan kakinya menuju rumah bilik bambu itu seraya membawa bunga yang ia petik dari taman-taman kerinduan.
“Assalamu’alaikum” Salam gadis itu.
“Wa’alaikumussalam. Siapa?” Suara seorang pria dari dalam rumah.
Gadis itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan seorang pria yang ada dalam rumah itu. Hingga pria dalam rumah itu melihat sendiri siapa yang muncul di hadapannya. Tidak lama kemudian dibukakan pintu rumah itu. Terlihatlah wajah penuh keteduhan menyembul dari balik pintu.
“Aku Ras” Jawab Aisyah setelah pemuda itu membuka pintu.
“A..Aisyah!” pria itu terkejut. “Subhanallah, benar kamu Aisyah?” sambung pria itu.
“Kamu benar Ras. Aku Aisyah!” Jawab Aisyah sambil menundukkan wajah.
Rashid diam. Hatinya bergoncang hebat setelah mendengar suara yang telah lama hilang dari hidupnya. Kini, suara itu hadir kembali. Suara indah yang pernah ia dengar saat berada dalam taman Quran. Hati yang telah lama kerontang seakan kembali basah oleh guyuran air surga.
“Rashid!” Ucap Aisyah.
Rashid terkejut oleh suara Aisyah, setelah beberapa saat ia hanyut dalam lamunan. Sesegera mungkin ia bangkit dari lamunan.
“Oh iya, mari masuk dulu ke rumah. Agaknya engkau terlampau letih setelah berjalan cukup jauh” Ujar Rashid.
“Tidak Ras. Aku tak bisa berlama-lama di sini,” jawab Aisyah. “Aku datang ke sini hanya untuk memberitahumu kalau aku….”
“Kalau apa Aisyah?”
“Kalau aku telah dijodohkan oleh ayahku. Aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang jauh rasa cintanya kepada Tuhanku.” Jawab Aisyah dengan suara bergetar.
Perkatakan Aisyah sontak membuat jantung Rashid seakan berhenti. Kedua telinganya mendengung keras. Ia tak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur berkeping-keping. Kehadiran Aisyah hanya membawa kesejukan sesaat. Setelah itu ia membuat hati Rashid kembali kerontang. Bagaimana wanita yang selama ini ia cintai harus berlabuh pada dermaga cinta pemuda lain. Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, Rashid berkata.
“Aisyah, jika itu permintaan ayahmu maka terimalah. Percayalah, setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya.”
“Tidak!” Bantah Aisyah.
“Lalu apa yang engkau inginkan, Aisyah?”
“Rashid. Memang, ayahku selalu menginginkan jodoh untukku dari kalangan orang kaya. Tapi bagiku, apalah arti hidangan lezat yang bisa aku nikmati di meja makan sewaktu-waktu jika kelak aku menjadi orang yang paling lapar di negeri abadi. Dengan segala kerendahan hati yang aku miliki. Aku memohon kepadamu, tolong temui ayahku dan pinang aku, Rashid. Cobalah Rashid!”
Rashid hanya diam. Permintaan Aisyah membuatnya bimbang. Suasana kembali sunyi. Daun-daun kering yang ditiup angin menuju ke arah mereka.
“Jawab, Rashid!” Sambung Aisyah setelah melihat Rashid terdiam beberapa saat.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak ingin dikatakan sebagai orang yang angkuh karena menolak permintaanmu. Tapi, engkau tahu sendiri jika aku hanyalah seorang yang miskin. Sedangkan ayahmu begitu menginginkan seorang pendamping bagimu dari kalangan terpandang.”
“Jadi engkau menolak permintaanku, Rashid?”
Rashid hanya mengangguk. Wajahnya tertunduk, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya seakan terkunci rapat.
“Baiklah kalau engkau menolak permintaanku. Tapi….” Ujar Aisyah sambil membuka tas hitam yang ada di lengannya.
“Tapi, engkau harus menerima ini Ras” sambung Aisyah sambil menunjukkan kertas putih tebal berbentuk lipatan persegi yang ia ambil dari tasnya.
“Apa itu, Aisyah?”
“Ambil saja, Ras!” Jawab Aisyah seraya mengulurkan tanggannya memberikan kertas berwarna putih itu.
“Maaf, tidak usah, Aisyah!” Jawab Rashid lirih.
“Terimalah! Kalau engkau tidak terima, aku tak akan beranjak pergi dari rumahmu ini!”
Terpaksa Rashid menerima kertas putih yang diberikan Aisyah. Kemudian, Aisyah beranjak pergi dari hadapan Rashid. Dengan wajah berkabut ia meninggalkan Rashid seraya membawa harapan besar agar Rashid berkenan menemuinya kelak. Entah bagaimana caranya, dan di mana tempatnya. Aisyah meningalkan Rashid dengan air mata yang menetes membasahi pipinya. Angin berhembus lebih syahdu. Serasa ada nyanyian iba bersamanya.
Sementara itu di dalam rumah bilik Rashid tampak menangis tersedu-sedu. Kehadiran Aisyah pagi itu membuatnya meratap karena hati yang dilanda nestapa. Keteduhan Aisyah berisyarat akan kelembutan hatinya. Betapa Rashid mencintai Aisyah dengan segala kekurangan yang ia miliki. Haruskah cinta yang suci dan berasal dari Yang Maha Suci ternodai oleh sifat materialistis manusia. Haramkah jika cinta tersentuh oleh tangan kemelaratan. Hati Rashid berteriak keras.
Kemudian, tangis Rashid semakin menjadi-jadi setalah membuka kertas putih yang Aisyah berikan padanya. Kertas itu berisi sebuah pengharapan Aisyah. Dengan mata berlinang Rashid membacanya perlahan penuh kekhusyu’an.
Kepada Muhammad Rashid
Assalamu’alaikum
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ‘inilah yang diberikan kepada kami dahulu’. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk meraka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dalam mereka kekal di dalamnya” (Al-baqarah: 25)
Sengaja aku memulai menulis surat ini atas nama cinta kepada Ilahi Rabbi. Karena, Dialah yang Menciptakan Bidadari-bidadari bermata yakut dan marjan. Dialah yang mengalirkan sungai-sungai kejernihan dalam surga. Dialah penguasa setiap dinding-dinding hati seorang hamba. Dia-lah yang Maha Memelihara cinta suci yang tertuang indah dalam ayat-ayat-Nya. Dialah yang mengatur kapan dan di mana air mata seoarang hamba berjatuhan membasahi bumi-Nya.
Atas nama cinta suci berbalut sutra kasih sayang-Nya. Aku ingin sampaikan kegelisahan hati yang selama ini aku simpan sendiri hingga sampai pada saatnya engkau yang membukanya, Rashid. Dan sekarang engkau membukanya.
Kebodohan kala itu masih aku ingat, ketika jiwaku terjun melayang ke dalam jurang-jurang kenistaan. Hidupku hancur. Bahkan aku tak mengenal siapa sebenarnya diriku apalagi Tuhanku. Saat aku berada dalam kemiskinan akhirat, Allah Yang Maha Kaya mengulurkan tali hidayah-Nya melalui kehadiranmu, Rashid.
Dengan penuh kesabaran, engkau membimbingku yang bodoh ini. Dengan penuh keikhlasan engkau mengajariku untuk mengenal Tuhanku. Engkau tak pernah merasa jijik padaku walau noda-noda kotor melekat padaku. Engkau manusia berhati malaikat, Rashid.
Jika engkau tahu, saat inilah air mataku menetes seakan enggan berhenti membasahi pipiku. Ketika aku hanyut akan keberadaanmu, tiba-tiba engkau seakan hilang ditelan masa. Sungguh, aku bisa merasakan pergerakan hatimu, Rashid. Engkau mencintaiku, bukan?. Engkau meninggalkanku karena engkau selalu merasa tak pantas untukku lagi-lagi karena harta, bukan?
Jika memang itu alasanmu yang kuat. Maka, sengaja aku mengumpulkan dikit demi sedikit tabunganku agar engkau dapat memakainya, Rashid. Jangan pernah tolak permintaanku ini. Karena aku benar-benar berharap engkaulah yang akan menjadi pendamping hidupku hingga wangi surga kita cium bersama.
Aku akan menunda perjodohanku dengan pemuda itu sampai engkau datang meminangku, Rashid. Aku setia menantimu.
Wassallam
Arfina Aisyah H
Malam kembali datang membentangkan jubah hitamnya. Terlihat cahaya gemintang mulai meredup karena terhalang awan-awan gelap. Angin malam meniup halus seorang hamba yang sedang menyepi, bercengkerama dengan Rabbnya. Air matanya menetes di atas sajadah. Pundaknya berguncang menahan kesedihan. Dalam doa berharap kemudahan untuk menyusuri lorong-lorong kesukaran. Di tempat yang berbeda, Aisyah memohon kemudahan kepada Ilahi dengan melantunkan surah Ar Rahman, semoga kasih sayang-Nya mendekap keinginannya. Suara indahnya memecah keheningan malam. Dua anak manusia mengikat cinta dalam keheningan malam.
Sebulan kemudian, cahaya dhuha merebahkan kehangatannya melalui fajar yang menyingsing di ufuk timur. Rashid menengadahkan wajahnya ke langit mengikuti langkah cahaya itu sebelum lenyap oleh kuasa rembulan. Tekadnya sudah bulat untuk beranjak pergi dari Desa Kedung demi cinta yang bersarang pada sosok Aisyah. Rashid pun harus meninggalkan Desa Kedung, Aisyah, dan cintanya. Rashid mencoba mencari peruntungan di pulau seberang dengan bekal yang ia peroleh dari Aisyah. Rashid melangkah pergi, berlayar melintasi luasnya lautan yang biru menuju pulau harapan.
Angin dari utara meniupkan kabar hingga sampai ke telinga Aisyah tentang kepergian Rashid ke pulau seberang. Kabar itu tak ubahnya seperti petir yang berdendang tanpa mendung. Menyambar tanpa memerintah dan diperintah. Kabar itu membuat Aisyah semakin terlelap dengan penderitaannya. Air matanya mengucur deras dari keteduhan sepasang jelita matanya. Cobaan yang menimpanya semakin membuat ia terperangkap oleh jerat cinta Rabbnya. Ia gantungkan segala harapannya kepada Sang Maha Pemilik langit dan bumi ini. Dalam diam ia memohon, dalam bertutur ia meminta. Siang yang terik menemani rasa dahaganya karena puasa. Malam yang dingin memelukya dalam kesepian untuk bermunajad.
“Rashid akan kembali. Rashid akan datang untukku. Walau aku tak tahu kapan dan di mana” Bisik hati Aisyah.
Setahun telah berlalu. Musim kemarau merelakan penghujan membuat jejak-jejak baru di atas bumi. Kesendirian semakin menyadarkan pentingnya kebersamaan. Tentunya kebersamaan yang dilandasi oleh rasa cinta. Bukan kebersamaan yang hampa; tanpa embun cinta. Aisyah masih dalam kesendirian, sementara ayahnya sudah memaksanya untuk secepatnya menikah dengan seoarang pemuda yang telah ia pilihkan.
“Aisyah, sebentar lagi Amir datang bersama keluarganya. Ayah harap engkau mau menemui mereka” Ujar Ayah Aisyah.
“Untuk apa mereka kesini, yah?”
“Kamu ini bagaimana. Ya tentu saja untuk membicarakan pernikahan kalian!”
“Ayah, sudah berapa kali Aisyah bilang, Aisyah belum ingin menikah!”
“Lihat itu bu anakmu. Mau sampai kapan dia seperti itu?” Ujar ayah Aisyah kepada istrinya.
“Sudahlah, yah! Aisyah, sayang. Sini nak!” Panggil Ibu Aisyah.
Aisyah mendekat ke ibunya kemudian memeluknya.
“Ibu, kenapa Aisyah selalu dipaksa menikah dengan Amir?” bisik Aisyah.
“Aisyah, ibu tahu engkau tidak menyukai Amir. Tapi, ini semua juga untuk kebaikanmu, sayang. Ingat usiamu, nak” jawab ibu Aisyah lembut.
“Iya, tapi kenapa harus selalu dipaksa dengan dia. Apakah hanya karena dia orang kaya?, Ibu, Aisyah tidak mengharapkan orang yang kaya di dunia tapi sangat miskin dihadapan Allah.”
“Bukankah Amir laki-laki yang baik, sayang?”
“Tidak! Aisyah tahu benar siapa dia, bu! Sewaktu Aisyah belum seperti ini. Aisyah pernah melihat dia bersama teman perempuan Aisyah, bu.”
“Lalu, apa yang engkau inginkan, nak?”
“Aisyah tetap menolak!” Jawab Aisyah mantap.
Di tempat yang berbeda dan jauh dari hiruk pikuk rencana pernikahan, seorang pemuda berwajah rupawan dan bersih sedang mempersiapkan keberangkatannya untuk kembali pulang ke desa yang selama ini ia tinggalkan. Sesekali ia pandangi secarik kertas yang selalu ia simpan di dalam kantong berwarna coklat tua. Jika kerinduan akan gadis itu kembali datang, maka kertas itulah yang mampu mengobati kerinduannya kepada gadis itu.
“Hai..Apa itu, Ras?” Suara seorang pria mengejutkan Rashid.
Sesegera mungkin Rashid menyembunyikan kertas itu dari pandangan seseorang yang mengejutkannnya.
“Ah, tak ada, Bur”
“Halah, pasti itu sebuah surat, bukan? Sepertinya begitu” Ujar Burhan sambil tertawa.
Rashid hanya tersenyum tipis.
“Eh, kapan rencanamu pulang ke kampung, Ras?” Tanya burhan mengalihkan pembicaraan.
“Insya Allah dua minggu lagi.”
“Pasti banyak yang merindukanmu di kampung ya?”
“Tidak bur. Aku sudah tak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, selain aku hanya berharap belas kasih dari Allah.”
“Kalau begitu mengapa engkau harus bersusah payah pulang ke kampung, sementara engkau tak memiliki sanak saudara di sana. Lebih baik engkau di sini saja, Ras. Barangkali engkau bisa lebih sukses dari sekarang ini.”
“Tidak, Bur. Seseorang sudah menungguku di sana. Aku ingin kembali kesana membawa kabar gembira untuknya.” Ujar Rashid sambil memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar berwarna hitam.
“Siapa, Ras? Seorang perempuan?”
“Tolong lempar kesini baju warna biru di sebelahmu itu, Bur!” Perintah Rashid kepada Burhan “Iya, dia seorang perempuan. Dia yang menungguku, Bur.” Sambungnya seraya melipat-lipat baju yang hendak dimasukkan dalam tas.
“Jadi, engkau pulang ke kampung untuk menikah dengannya?”
“Memang, sudah hampir setahun kami tidak bertukar kabar. Tapi, kuharap tetap bisa menikahinya.”
Di balik jendela kamar, Aisyah memandangi hujan yang saling berkejaran hingga akhirnya saling berpeluk dengan bumi. Seakan deras hujan itu melukisakan raut wajah Rashid. Seorang yang telah lama menghilang tanpa ada secuil kabar yang ia kirim untuknya, sehingga membuatnya larut dalam kerinduan yang teramat sangat pada sosok Rashid. Kerinduan pada sosok Rashid ia tumpahkan di atas kertas putih yang tergores oleh tinta hitam. Aisyah menulis surat untuk Rashid. Sebuah surat yang rencananya akan ia titipkan kepada Pak Udin, seorang petani desa yang pernah mengantarkannya bertemu dengan Rashid.
Sejak terjadi pertemuan dua keluarga beberapa hari yang lalu, membuat hidup Aisyah berubah. Dia lebih sering mengurung diri di dalam kamar, bahkan enggan untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Kesan kesegaran yang biasa ia tampakkan kini mulai layu. Bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali. Ia jarang makan hingga membuat badannya mulai terlihat kurus. Pada akhirnya Aisyah pun tergeletak sakit.
“Aisyah..Aisyah.!” Seru ibunya dari balik pintu kamar.
“Ya” Jawab Aisyah singkat.
“Makan dulu, sayang! Sudah beberapa hari kamu belum makan, nak. Ini sekalian ibu bawakan obat untukmu.” Rayu Ibunya.
“Tidak. Aisyah tidak lapar bu.”
“Nak, buka pintunya ibu ingin bicara sama kamu!”
“Aisyah masih ingin sendiri, bu. Ibu letakkan saja makanan sama obatnya di depan pintu.”
Dalam kesendirian, Aisyah kembali mengurai air matanya yang terus mengucur deras. Hanya kepada Allah Yang Maha Lembut Aisyah mengadukan segala persoalan yang melandanya. “Ya Allah, kuserahkan segala urusanku yang aku tak tahu dimana ujung penyelesainnya hanya kepada-Mu. Wahai Rabb pemilik Arsy yang mana para Malaikat senantiasa berzikir kepada-Mu. Tenggelamkanlah segala kesusahan yang menimpa diriku dan jika Engkau berkehendak timbulkan segala kemudahan untukku, Ya Rabb. Wahai Rabb Yang Maha Besar rasa kasih dan cinta-Nya kepada semua makhluk, serta yang menumbuhkan rasa cinta ke dalam diri setiap makhluk. Sungguh, aku rela jika rasa cinta yang ada dalam diriku engkau cabut bilamana rasa cintaku terhadap makhluk-Mu lebih besar daripada rasa cintaku kepada-Mu.” Tersungkurlah wajah Aisyah di atas sajadah.
Desa Kedung tak banyak berubah setelah beberapa lama ditinggalkan salah seorang penduduknya. Hanya musim yang telah berubah. Manakala dulu musim kemarau, sekarang telah berubah musim penghujan. Seorang pemuda yang telah lama menghilang dari desa itu, kini kembali pulang. Pemuda itu berjalan menyusuri hamparan sawah hingga para petani yang sedang sibuk mengurusi sawahnya mengalihkan perhatiannya kepada pemuda itu. Tak lama kemudian, salah seorang petani berteriak sambil berlari menuju ke arah pemuda itu.
“Rashid..Rashid..!”
Kemudian Rashid mengarahkan pandangannya ke sumber suara yang berteriak memanggil namanya dari arah belakang.
“Assalamu’alaikum, Rashid. Akhirnya engkau pulang juga.”
“Wa’alaikumussalam, Pak Udin. Ada apa Pak?”
“Begini, Ras. Seminggu yang lalu ada seseorang laki-laki yang mencarimu seraya menitipkan ini untuk disampaikan padamu.” Ucap Pak Udin sambil menunjukkan sebuah surat.
“Seorang laki-laki? Siapa ya, Pak? Lalu, apa ada pesan dari beliau?” Tanya Rashid sambil mengambil surat yang disodorkan oleh Pak Udin.
“Aku tak tahu, Ras. Dia tidak berpesan apa-apa kecuali hanya sedikit bercerita kepadaku jika anaknya telah tiada dan surat yang kau pegang itu ia temukan di dalam kamar anaknya. Begitu saja, Ras.”
“Baiklah kalau begitu. Saya segera membacanya di rumah, Pak.”
Gumpalan awan gelap telah terlihat di atas desa itu, tak lama lagi hujan akan turun. Rashid bergegas untuk segera pulang sebelum hujan mengguyurnya. Sesampai di rumah, Rashid segera membuka surat yang ia peroleh dari Pak Udin. Dan hujan pun turun dengan lebatnya.
Kepada Muhammad Rashid
Assalamu’alaikum
“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (Qs:Al-Insaan:20)
Rashid, Aku menulis surat ini ketika hujan mengurai keindahannya. Ketika aku memandanginya terlukis raut wajahmu di antara hujan yang saling berkejaran. Engkau pergi tak menitipkan kabar sedikitpun padaku, Rashid. Selalu saja engkau ingin menjauh dariku. Tapi, aku selalu mencoba menjadi wanita yang ikhlas untuk kehilanganmu.
Rashid, pernah suatu malam aku bermimpi duduk di bawah pohon yang begitu rindang, dan di sebelahnya mengalir sungai yang sangat jernih. Kemudian, aku alihkan pandanganku ke arah padang rumput hijau yang begitu luas dan indah. Semilir angin membuatku terasa sejuk. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berwajah mirip denganmu, Rashid. Laki-laki itu datang bersama dua wanita yang sangat cantik, kecantikannya tak pernahku lihat sebelumnya. Kemudian laki-laki itu duduk di sebelahku dan berkata jika ia hendak menikahiku. Oh..Begitu indah yang aku rasakan dan begitu syahdu janji yang ia ucapkan padaku.
Aku mengira laki-laki itu adalah dirimu, Rashid. Tapi, rasanya tidak mungkin engkau meminangku di dunia ini, karena aku merasa umurku tak akan lama lagi. Mungkin mimipi itu adalah isyarat jika engkau akan meminangku di Taman Firdaus.
Aku masih menantimu, Muhammad Rashid.
Wassalam
Arfina Aisyah H
Rashid masih memandangi surat terakhir yang ia terima sebelum hujan turun membasahi Bumi Allah. Kini, di beranda rumah bilik bambu seakan Rashid yang melihat raut wajah Aisyah di antara hujan yang saling berkejaran. Wajah Aisyah tampak bercahaya dan membawa senyum kedamaian yang ia kirim dari Taman Firdaus. Air mata Rashid menetes. Ia lipat surat terakhir dari Aisyah, kemudian ia pandangi langit dan berkata. “Selamat tinggal Aisyah. Aku akan selalu merindukanmu yang kini telah menjadi bidadari surga dalam Taman Firdaus.”
Oleh: Alfian Nur Rochman - 15/07/13 | 11:30 | 08 Ramadhan 1434 H
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/07/15/36769/pinang-aku-dalam-taman-firdaus/#ixzz2Z5Q4t7u5
No comments :
Post a Comment