Oleh:
sandylegia
Diriwayatkan dari Abu Laila bahwasanya ketika Qais bin Saad dan
Sahl bin Hunaif berada di Qadisiyyah, lewatlah iring-iringan jenazah, kemudian
keduanya berdiri. Tiba-tiba ada yang berkata “Jenazah itu bukan muslim!”
Keduanya berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah dilewati iringan jenazah,
kemudian ada yang berkata “Itu jenazah seorang Yahudi!”. Maka kemudian beliau
berkata “Bukankah dia juga berjiwa? (manusia)”. [HR. Bukhari, kitab
janaiz, bab al qiyam lil janazah -1250]
Siang yang membakar di kamp pengungsian, seorang anak bertanya
kepada ibunya “Bu, kenapa
kita tidak pernah menang, dan kenapa mereka begitu kejam?”
Lagi-lagi jawaban sang ibu sama. “Sabar!”
Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Para
pengungsi tersentak, sesaat kemudian mereka kembali kepada aktivitasnya
masing-masing.
Sekumpulan pemuda di kejauhan sana berlarian menggotong seonggok jasad yang
tak bernyawa. Dari tempat yang sama, seorang pemuda terseok-seok jalannya
akibat peluru yang bersarang di kaki kanannya.
Di kamp, sang anak menatapi kembali ibunya. Tak ada yang nampak
dari wajahnya kecuali raut-raut kesabaran walaupun di luar sana tuduhan teroris bersahutan.
Sang ibu menyodorkan dua buah isy, “Ayo makan dulu, Nak!” tapi ia melamunkan
kawan-kawannya. Setahun lalu teman-teman akrabnya dibantai di depan mata
kepalanya sendiri. Beberapa hari lidahnya kelu seperti orang mati, shock. Bagaimana
tidak? Pembunuhan itu dilakukan dengan tidak berperikehewanan sekalipun.
“Apa yang kamu
lakukan, Ahmad? Ayo cepat makan!” suara berat itu membuyarkan
lamunan Ahmad sang anak. Ahmad tersentak dan segera mengambil jatah isy nya. “Ayah, kenapa kita tidak pernah menang,
dan kenapa mereka begitu kejam?” tanya Ahmad sambil mengunyah isy.
Sang ayah terdiam sesaat kemudian berkata “Karena kita bodoh dan mereka sesat”.
Ahmad mencoba meraba-raba maksud jawaban. “Sudah lah saat dewasa nanti kamu
pasti paham, karena hanya orang dewasa yang paham kata-kata ini, teruskan
makanmu dan antar ini ke tenda paman Ali” kata ayah sambil menyodorkan
sekeresek buah kukh. “Yup...”
jawab Ahmad singkat.
Jalanan lengang, langit bergaun biru keunguan. Ahmad berjalan di
antara tenda-tenda pengungsian. Sesekali matanya menoleh ke samping kiri dan
kanan sekedar mencari tahu apa yang dilakukan orang-orang di dalam tendanya
masing-masing. Sang ibu mengipasi anaknya, kakek tua tidur begitu pulas, bocah
tiga tahun merengek, remaja mengerang kesakitan entah kenapa, beberapa pemuda
berkumpul membaca Al-Quran, gadis kecil menangis sendirian, itu lah pemandangan
biasa yang hampir setiap hari terlihat.
“Allahu akbar…
Allahu akbar...” adzan bergema dari kejauhan. Ahmad berhenti
sejenak mencari sekumpulan orang yang hendak mendirikan shalat. Tikar dihampar
di tengah-tengah puing-puing reruntuhan “Sama
kan shaf
kalian!” kata imam.
Usai shalat Ahmad bergegas kembali melanjutkan perjalanannya. “Ahmad!!!” tiba-tiba
seorang pemuda memanggilnya. “Kak
Ayash?” Ahmad terkejut. “Ahmad,
ini hampir malam, mau ke mana kamu?”, “Ayah menyuruhku untuk mengantarkan ini
ke paman Ali”. “Kamu tidak boleh berjalan sendiri, Ahmad! Kakak akan temani
kamu!” Ahmad tersenyum.
Pemuda itu berdiri di samping Ahmad sambil menggenggam sebuah
batu. Dari arah berlawanan tiga orang menghampiri Ayash. Ayash merapatkan
halisnya coba menerka siapa orang-orang dibalik sorban itu.
“Assalamu..”
belum sempat membereskan salamnya tiba-tiba Ayash tak bergerak merasakan
sesuatu yang menusuk perutnya, dua orang bertutup wajah lainnya menjatuhkan
tubuh Ayash, memegang kedua tangannya erat-erat, kemudian seorang di antara
mereka mengeluarkan pisau, entah apa yang akan mereka lakukan terhadapnya.
Ahmad berlari sejadi-jadinya, sambil sesekali menoleh ke belakang.
“Mereka bukan Mujahid”
hatinya berkata. “Siapa
mereka?” hatinya bertanya lagi.
Ahmad terlalu muda untuk mengetahui trik murahan itu. Bumi yang ia
pijak sudah lama tahu bahwa “Manusia terlaknat” punya trik penyamaran baru.
Supaya bisa menerobos kamp pengungsian dan menggorok serta memutilasi siapa
saja yang mereka temukan. Tujuannya satu, intimidasi agar kecoa-kecoa itu
minggat dari the promise land, pembenaran berkedok agama, atau lebih tepat,
berkedok ajaran sesat.
Ahmad masih berlari tapi kemudian berhenti, tangan besar itu
menangkapnya dan membawanya pergi entah ke mana. Kukh berjatuhan tercecer di
mana-mana. Ahmad mencoba berontak dengan berteriak, tapi laki-laki berkalung
bintang david itu menyumpal mulutnya dengan batu sambil meneruskan siulannya.
Dua malam kemudian…
Khansa masih belum kering air matanya, Rashid suaminya hanya
terkapar tak mampu berbuat apa-apa setelah tertembak pada penyerangan kemarin
malam.
Ahmad adalah anak satu-satunya yang tersisa. Tiga anak lainnya
tewas pada penyerangan tiga tahun yang lalu, tapi kini ia harus merelakan juga
kepergian anak terakhirnya. Dua malam tak kembali adalah tanda bahwa Ahmad
telah tiada untuk selamanya.
Khansa menghapus air matanya sambil menyingkap tirai tenda.
Matanya menatap langit yang terang, bukan oleh bulan, tapi oleh bom curah.
Pemuda-pemuda berlarian, terkapar, kering dan menjadi abu.
Desingan peluru kemudian menyusul. Khansa berdiri keluar tenda,
menyelipkan diri di tengah pemuda-pemuda yang melempar batu. Rashid
memanjangkan tangannya memberi isyarat kepada Khansa agar jangan keluar, tapi
Khansa tak melihatnya.
Bom curah itu menyiram rata kumpulan pemuda pelempar batu. Tak ada
yang tersisa, melepuh semuanya. Rashid hanya bisa meneteskan air mata melihat
istrinya mengering perlahan-lahan menjadi abu.
Di belahan bumi lain di Indonesia, dua orang pemuda tengah sengit
berdebat, yang satu cengengesan sedang yang lain bermuka masam.
“Sudahlah,
mereka bukan urusan kita, jauh-jauh mikirin Palestina, negeri kita saja masih
morat-marit gak jelas, gelandangan dimana-mana, fakir miskin semakin menjamur….”
Kata si cengengesan.
Si muka masam terdiam sesaat sembari menghela nafas, kemudian
berkata “Bagaimana
perasaanmu, jika Palestina menjadi seperti Indonesia
dan Indonesia
menjadi seperti Palestina, kemudian orang Palestina mengatakan seperti yang
kamu katakan barusan?”
“Yaa… itu hak
mereka, mau menolong atau atau tidak, bukan urusan kita, tugas kita adalah
berjuang untuk merdeka” jawab si cengengesan enteng.
Di Palestina….
Tak lama setelah meneteskan air mata rudal apache menyudahi
kepedihan Rashid. Tendanya porak-poranda seperti tubuhnya yang terkoyak.
Di Indonesia….
Dua pemuda itu berpisah setelah mengakhiri debatnya. Si
cengengesan masih dengan cengengesannya, tapi kali ini dengan sedikit
membusungkan dada, lega karena berhasil mematahkan argument lawannya.
Tamat…
Resapi kembali ajaran tentang persaudaraan, saudara seiman, dan
saudara se kemanusiaan! Jangan bodoh dan jangan sesat!
No comments :
Post a Comment